Ke mana Santun Kita?

Waktu kecil dulu, anak Medan pasti seringkali mendengar kalimat seperti ini :

Becakap lagi lah kayak gitu, Ibu cabe mulut itu nanti, mau?

Kalau tidak pernah mendengar kalimat di atas, ada dua kemungkinan, anak ini tidak pernah menyebut dirinya dengan kata ganti “AKU” di depan orang tuanya, jadi notabene anak yang santun luar biasa, atau orangtuanya memang yang tipikal lemah lembut mengingatkan dengan cara halus, mungkin juga campuran, atau bukan asli Medan.

Sebegitu keraslah ancaman kami, anak kecil yang dibesarkan di Kota Medan. Menyebut diri sendiri di depan orang tua, bahkan teman harus menggunakan nama sendiri. Jadi kira-kira percakapan dengan orang tua seperti ini:

Bok, besok ada tugas kuliah. Tugas kelompok, jadi Kiky mau ke rumah kawan abis pulang kuliah, mungkin abis Maghrib baru pulang.

Kiky = kata ganti orang pertama. Tidak diganti dengan aku, saya atau lainnya. Melainkan dengan nama, laki-laki dengan perempuan semua menggunakan kata ganti orang pertama dengan namanya sendiri. Tanpa kecuali, dan tidak berubah meskipun kami sudah dewasa, sudah pindah ke kota lain, ataupun belahan dunia lain.

Jadi meskipun kami orang Medan terkenal dengan sikap yang keras, tapi dalam berbahasa, setidaknya dengan orang tua ataupun yang dituakan masih dengan cara yang sama.

Hari ini, saya membuka twitter. Mencari ide untuk menulis. Di hari libur yang indah ini,  (buat saya sih ini libur ya 😝) timeline twitter tak seindah yang saya bayangkan. Jadi kebetulan saya mem-follow salah satu seleb-twit. Darinya saya dapati, satu image atau gambar yang merupakan screenshot dari timeline seseorang lengkap dengan semua komen dan reply orang lain terhadap statusnya tersebut.

Gak tanggung-tanggung ya orang-orang mengomentari orang lain, menyamakannya dengan binatang, menyebutnya bodoh di depan publik, mengotori timeline dengan whatever possible names! 

Saya sedang tidak berusaha membela siapapun dalam hal ini. Tapi marilah kawan, kita berpikir sejenak. Kemana santun kita? Apakah kita sanggup mengatakan hal yang sama jika kita berhadapan person to person dengan orang tersebut? Apakah pernah terlintas, bagaimana susahnya orang tua mendidik kita untuk menjadi pribadi yang santun, santun loh yaaa bukan bodoh, lalu sekarang semua hilang begitu saja? Apakah memang begitu cara kita berkomunikasi? Apakah kita sudah lebih pintar dari orang yang kita cela ketika cara kita berbicara pun sama dengan dia? Apa yang kita peroleh dari memaki-maki orang di timeline? Apaaa????

Terlalu picik kita jika berpikir memaki di timeline tidak sama dengan memaki orang secara langsung. Terlalu naif kita kalau berpikir dunia ini masih ada ruang pembatas antara offline dan online. Ahhhh!!! Kenapa harus menunggu UU ITE bertindak, baru diam? Kenapa menunggu dituntut dengan pasal perilaku tidak menyenangkan baru berubah?

Saya jadi ingat, ketika ada pemain badminton asal Denmark yang mengkritik supporter Indonesia pada kejuaraan BCA OPEN 2017. Saya ingat persis yang dia sampaikan.

In my Facebook account, twitter, and Instagram account, I’ve been called things, and it seems that you all sitting and laughing. If you threaten somebody on his life in the rest of the world, you’ll go to jail. But I heard that here, it is just a joke. To say that I want to blow you up, maybe it’s a joke to you, but it’s not in our country …. But if you think that it’s funny, you probably should get a proper education from your parents.

I am not watching that game. I didn’t know what he did before that made Indonesian supporter that angry. Tapi kembali lagi, ke mana santun kita? Maluuuuu!! Yang menambah malu adalah ketika kalimat pertama dia sampaikan, entah siapa yang hadir di konferensi pers itu tertawa. Aaaahhh!!!

Sebagai orang tua, kita adalah pendidik pertama generasi anak-anak kita. Kalau kita orang tua berperilaku seperti itu, jangan salahkan kalau anak bersikap kasar kepada kita. Kalau ayah bisa menyebut manusia ciptaan Allah dengan nama binatang, kenapa saya tidak? Kalau karena pilihan politik ayah bisa menghujat orang habis-habisan, kenapa saya tidak? Kalau ayah bisa that disrespect towards the elder, kenapa saya tidak?

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga.

2 thoughts on “Ke mana Santun Kita?

  1. kiky salam kenal ya. Ini tulisannya makjleb banget terutama soal komentar pemain Denmark itu. Ya Allah aku aja yang gak nonton dan gak seberapa ngerti badminton, ikut malu baca komen beliau. Lalu teringat ibu bapak kita yang menyekolahkan kita mulai TK sampai lulus kuliah dengan biaya yang gak sedikit, lha produk akhirnya kok bermulut gak sopan ya? Sedih ya….

    Like

Leave a comment